Apakah Ini yang Dinamakan Wakil Rakyat?
JEPARA, suaramerdeka.com - Aroma ketidakpatutan anggaran renovasi ruang Badan Anggaran (Banggar) DPR yang baru, menyengat pelaku industri furniture dari Jepara. Mereka menguatkan indikasi pemborosan anggaran itu dengan meneliti harga satuan kursi yang biasa beredar di Eropa.
"Saya tersentak menganalisa informasi di media soal harga satu kursi di Banggar yang sampai Rp 24 juta. Menyedihkan lagi itu kursi diimpor dari Jerman," kata HM Jamhari, salah satu pemilik industri furniture Jepara skala besar yang bertahun-tahun melakukan kegiatan ekspor, di antaranya ke negara-negara Eropa.
Ia lantas menunjukkan beberapa kursi yang diproduksi perusahaannya, yang merupakan harga tertinggi dengan kualitas terbaik. "Kalau saya melihat potongan kursi baru di Banggar yang ditampilkan media beberapa hari ini, sungguh itu harga yang sangat berlebihan. Ibarat membeli mobil APV dengan harga Alphard," lanjut pengusaha muda itu.
Menurutnya, kursi baru di Banggar itu tak lebih baik dari kursi yang ia produksi dengan kualitas ekspor nomor satu.
Untuk kursi dengan kayu jati atau mahoni, dengan busa dan kulit kualitas terbaik, harganya cuma 250 dolar AS/unit, atau lebih kurang Rp 2,3 juta. "Kursi kualitas ekspor terbaik yang kami produksi ini busa dan kulitnya kami datangkan dari Italia dengan kualitas pilihan. Kursi ini hidrolik dan sangat nyaman. Harganya tak lebih dari Rp 2,5 juta/unit," katanya.
Sedangkan untuk kursi kualitas menengah yang biasa diekspor ada di kisaran Rp 1,5 juta/unit. "Bagi saya, kursi yang ada di Banggar itu kelasnya biasa," ujarnya.
Jamhari menyatakan, andai perusahaannya mendapatkan order untuk memproduksi kursi dengan harga satuan Rp 24 juta/unit, maka ia akan berpikir bagaimana memproduksi kursi itu bisa berfungsi mengantarkan yang menduduki ke toilet, ruang makan, atau tempat-tempat yang dituju di satu ruangan dengan tetap duduk di kursi itu.
"Atau (dengan harga p 24 juta/unit itu-Red) saya mungkin bisa membuat sebuah kursi yang memiliki fungsi pijat otomatis," ujarnya.
Dari sisi desain, jika juga melihat apa yang tampak dari furniture di ruang Banggar itu tak menunjukkan karakter seni. "Ini tampak berdesain minimalis tapi sangat mangkak. Harganya mewah, tapi potongan kursi dan mejanya jauh dari kesan mewah," lanjutnya.
AROMA ketidakpatutan anggaran renovasi ruang Badan Anggaran (Banggar) DPR yang baru, menyengat pelaku industri furniture dari Jepara.
Mereka menguatkan indikasi pemborosan anggaran itu dengan meneliti harga satuan kursi yang biasa beredar di Eropa.
’’Saya tersentak menganalisis informasi di media massa soal harga satu kursi di Banggar yang sampai Rp 24 juta. Menyedihkan lagi, kursi itu diimpor dari Jerman,’’ kata HM Jamhari, salah satu pemilik industri furniture Jepara skala besar yang bertahun-tahun melakukan kegiatan ekspor, di antaranya ke negara-negara Eropa.
Ia lantas menunjukkan beberapa kursi yang diproduksi perusahaannya, terutama yang harga tertinggi dengan kualitas terbaik.
’’Kalau saya melihat potongan kursi baru di Banggar yang ditampilkan media beberapa hari ini, sungguh itu harga yang sangat berlebihan,’’ lanjut pengusaha muda itu.
Menurut dia, kursi baru di Banggar itu tak lebih baik dari kursi yang ia produksi dengan kualitas ekspor nomor satu. Untuk kursi dengan kayu jati atau mahoni, dengan busa dan kulit kualitas terbaik, harganya cuma 250 dolar AS/unit, atau lebih kurang Rp 2,3 juta.
’’Kursi kualitas ekspor terbaik yang kami produksi ini busa dan kulitnya kami datangkan dari Italia dengan kualitas pilihan. Kursi ini hidrolik dan sangat nyaman. Harganya tak lebih dari Rp 2,5 juta/unit,’’ katanya.
Sedangkan untuk kursi kualitas menengah yang biasa diekspor sekitar Rp 1,5 juta/unit. ’’Kursi yang ada di Banggar itu kelasnya biasa,’’ ujarnya.
Jamhari menyatakan, andai perusahaannya mendapatkan order untuk memproduksi kursi dengan harga satuan Rp 24 juta/unit, maka ia akan berpikir bagaimana memproduksi kursi itu bisa berfungsi mengantarkan yang menduduki ke toilet, ruang makan, atau tempat-tempat yang dituju di satu ruangan dengan tetap duduk di kursi itu.
’’Dengan harga Rp 24 juta/ unit itu, saya mungkin bisa membuat sebuah kursi yang memiliki fungsi pijat otomatis,” ujarnya.
Dari sisi desain, jika juga melihat apa yang tampak dari furniture di ruang Banggar itu tak menunjukkan karakter seni. ’’Ini tampak berdesain minimalis tapi sangat mangkak. Harganya mewah, tapi potongan kursi dan mejanya jauh dari kesan mewah,’’ lanjutnya.
Jerman, kata dia, juga bukan terkenal sebagai produsen furniture di Eropa, meski Koln, salah satu kota di negara itu menjadi pasar besar furniture.
Di Eropa, selain Jerman, pasar yang cukup besar ada di Prancis, Spanyol, dan Belanda. ’’Jerman itu lebih menonjol di market place dengan mengandalkan merek. Kalau jago produksi ya Indonesia, China, dan Malaysia,’’ paparnya.
Andre Sundriyo dari Divisi Pemasaran dan Promosi Dewan Pengurus Pusat (DPP) Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) mengungkapkan, keputusan mengimpor kebutuhan furniture dari luar negeri itu sangat menyakiti pelaku industri serupa di Dalam Negeri.
’’Di saat industri butuh untuk berkembang, dibina, dan dibela, para pemimpin justru mengimpor. Ini ndak ketemu di nalar,’’ tandas pria yang banyak berkiprah di Jepara itu. (Muhammadun Sanomae-71)
Sumber: www.suaramerdeka.com
JEPARA, suaramerdeka.com - Aroma ketidakpatutan anggaran renovasi ruang Badan Anggaran (Banggar) DPR yang baru, menyengat pelaku industri furniture dari Jepara. Mereka menguatkan indikasi pemborosan anggaran itu dengan meneliti harga satuan kursi yang biasa beredar di Eropa.
"Saya tersentak menganalisa informasi di media soal harga satu kursi di Banggar yang sampai Rp 24 juta. Menyedihkan lagi itu kursi diimpor dari Jerman," kata HM Jamhari, salah satu pemilik industri furniture Jepara skala besar yang bertahun-tahun melakukan kegiatan ekspor, di antaranya ke negara-negara Eropa.
Ia lantas menunjukkan beberapa kursi yang diproduksi perusahaannya, yang merupakan harga tertinggi dengan kualitas terbaik. "Kalau saya melihat potongan kursi baru di Banggar yang ditampilkan media beberapa hari ini, sungguh itu harga yang sangat berlebihan. Ibarat membeli mobil APV dengan harga Alphard," lanjut pengusaha muda itu.
Menurutnya, kursi baru di Banggar itu tak lebih baik dari kursi yang ia produksi dengan kualitas ekspor nomor satu.
Untuk kursi dengan kayu jati atau mahoni, dengan busa dan kulit kualitas terbaik, harganya cuma 250 dolar AS/unit, atau lebih kurang Rp 2,3 juta. "Kursi kualitas ekspor terbaik yang kami produksi ini busa dan kulitnya kami datangkan dari Italia dengan kualitas pilihan. Kursi ini hidrolik dan sangat nyaman. Harganya tak lebih dari Rp 2,5 juta/unit," katanya.
Sedangkan untuk kursi kualitas menengah yang biasa diekspor ada di kisaran Rp 1,5 juta/unit. "Bagi saya, kursi yang ada di Banggar itu kelasnya biasa," ujarnya.
Jamhari menyatakan, andai perusahaannya mendapatkan order untuk memproduksi kursi dengan harga satuan Rp 24 juta/unit, maka ia akan berpikir bagaimana memproduksi kursi itu bisa berfungsi mengantarkan yang menduduki ke toilet, ruang makan, atau tempat-tempat yang dituju di satu ruangan dengan tetap duduk di kursi itu.
"Atau (dengan harga p 24 juta/unit itu-Red) saya mungkin bisa membuat sebuah kursi yang memiliki fungsi pijat otomatis," ujarnya.
Dari sisi desain, jika juga melihat apa yang tampak dari furniture di ruang Banggar itu tak menunjukkan karakter seni. "Ini tampak berdesain minimalis tapi sangat mangkak. Harganya mewah, tapi potongan kursi dan mejanya jauh dari kesan mewah," lanjutnya.
AROMA ketidakpatutan anggaran renovasi ruang Badan Anggaran (Banggar) DPR yang baru, menyengat pelaku industri furniture dari Jepara.
Mereka menguatkan indikasi pemborosan anggaran itu dengan meneliti harga satuan kursi yang biasa beredar di Eropa.
’’Saya tersentak menganalisis informasi di media massa soal harga satu kursi di Banggar yang sampai Rp 24 juta. Menyedihkan lagi, kursi itu diimpor dari Jerman,’’ kata HM Jamhari, salah satu pemilik industri furniture Jepara skala besar yang bertahun-tahun melakukan kegiatan ekspor, di antaranya ke negara-negara Eropa.
Ia lantas menunjukkan beberapa kursi yang diproduksi perusahaannya, terutama yang harga tertinggi dengan kualitas terbaik.
’’Kalau saya melihat potongan kursi baru di Banggar yang ditampilkan media beberapa hari ini, sungguh itu harga yang sangat berlebihan,’’ lanjut pengusaha muda itu.
Menurut dia, kursi baru di Banggar itu tak lebih baik dari kursi yang ia produksi dengan kualitas ekspor nomor satu. Untuk kursi dengan kayu jati atau mahoni, dengan busa dan kulit kualitas terbaik, harganya cuma 250 dolar AS/unit, atau lebih kurang Rp 2,3 juta.
’’Kursi kualitas ekspor terbaik yang kami produksi ini busa dan kulitnya kami datangkan dari Italia dengan kualitas pilihan. Kursi ini hidrolik dan sangat nyaman. Harganya tak lebih dari Rp 2,5 juta/unit,’’ katanya.
Sedangkan untuk kursi kualitas menengah yang biasa diekspor sekitar Rp 1,5 juta/unit. ’’Kursi yang ada di Banggar itu kelasnya biasa,’’ ujarnya.
Jamhari menyatakan, andai perusahaannya mendapatkan order untuk memproduksi kursi dengan harga satuan Rp 24 juta/unit, maka ia akan berpikir bagaimana memproduksi kursi itu bisa berfungsi mengantarkan yang menduduki ke toilet, ruang makan, atau tempat-tempat yang dituju di satu ruangan dengan tetap duduk di kursi itu.
’’Dengan harga Rp 24 juta/ unit itu, saya mungkin bisa membuat sebuah kursi yang memiliki fungsi pijat otomatis,” ujarnya.
Dari sisi desain, jika juga melihat apa yang tampak dari furniture di ruang Banggar itu tak menunjukkan karakter seni. ’’Ini tampak berdesain minimalis tapi sangat mangkak. Harganya mewah, tapi potongan kursi dan mejanya jauh dari kesan mewah,’’ lanjutnya.
Jerman, kata dia, juga bukan terkenal sebagai produsen furniture di Eropa, meski Koln, salah satu kota di negara itu menjadi pasar besar furniture.
Di Eropa, selain Jerman, pasar yang cukup besar ada di Prancis, Spanyol, dan Belanda. ’’Jerman itu lebih menonjol di market place dengan mengandalkan merek. Kalau jago produksi ya Indonesia, China, dan Malaysia,’’ paparnya.
Andre Sundriyo dari Divisi Pemasaran dan Promosi Dewan Pengurus Pusat (DPP) Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) mengungkapkan, keputusan mengimpor kebutuhan furniture dari luar negeri itu sangat menyakiti pelaku industri serupa di Dalam Negeri.
’’Di saat industri butuh untuk berkembang, dibina, dan dibela, para pemimpin justru mengimpor. Ini ndak ketemu di nalar,’’ tandas pria yang banyak berkiprah di Jepara itu. (Muhammadun Sanomae-71)
Sumber: www.suaramerdeka.com
0 komentar:
Posting Komentar